SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG

Sejarah Desa Leuweunghapit


Pada abad ke-16 M, seiring dengan perkembangan agama Islam di daerah Kabupaten Majalengka Utara, Sultan Cirebon menugaskan Waridah (Buyut Sambeng) dengan dibantu kedua anaknya, yaitu pertama; Asilah (bergelar Ki Bagus Urang), kedua; Masilah (bergelar Buyut Sidum) untuk menyebarkan agama Islam di daerah Majalengka Utara, dalam perjalanan Syiar Islam tersebut Masilah menikahi putri dari kakaknya sendiri (Asilah) yaitu Puti Bagus Urang dan mempunyai keturunan (anak) dinamai Nyi Mas Sidum, yang merupakan garis keturunan ke-8 dari Raja Pajajaran (Prabu Siliwangi) dan menetap di Desa Ligung.
Seiring perjalanan waktu, keturunan ke-1 dari Dermang Centong (Demang Leuwimunding) yang bernama Dipayuda yang sedang bertugas juga menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut pada tahun 1800 M bertemu denga Nyi Mas Sidum dan menikahinya. Dalam masa perkawinannya mereka melakukan pengembaraan ke wilayah timur dan singgah di suatu tempat (Hutan Belantara), mereka kemudian berkeinginan mendiami Hutan tersebut, sehingga mereka membuat sebuah sumur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, pada saat membuat sumur keadaannya sedang mendung, di langit gumpalan awan yang sangat tebal hingga tidak ada satu celah pun untuk matahari menyinari bumi, maka sumur tersebut dinamai Sumur Mendung (dari bahasa Jawa), Mendong yang letaknya sebelah utara Pos Jagawana (Penjagaan Hutan) Pemerintah Hindia Belanda yang dinamai Kemantren (yang saat ini ditempati oleh kantor pemerintahan Desa Leuweunghapit) sampai mempunyai keturunan 2 (dua) orang yaitu: pertama; Nurkim dan kedua Narimah.
Setelah sekian lama bermukimnya Dipayuda, Nyai Mas Sidum, dan keluarganya di tengah hutan belantara pada abad ke-18 M, ada sekelompok masyarakat para pekerja pembongkaran hutan di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang ditempatkan dalam bedengan-bedengan. Lambat laun semakin ramai dan banyak yang menetap dan berkeluarga sebagai Tetua/Pemimpin pada saat itu bernama Boa Awal (tidak diketahui namanya).
Adapun nama leuweunghapit ada dua versi:
Versi pertama: “Leuweung” berarti “Hutan” dan “Hapit” berarti “Terjepit/Terkelilingi.” Jadi Leuweunghapit adalah suatu tempat/daerah yang di sekelilinginya dibatasi oleh hutan belantara.
Versi kedua: Di antara sekumpulan keluarga itu ada yang akan melaksanakan hajatan dan sekedar hiburannya ada waktu itu diadakan tontonan “Wayang Kulit”, sewaktu pagelaran tersebut akan dimulai tiba-tiba Dalung dan Capitnya hilang, maka dari peristiwa itu diambilah istilah nama daerah tersebut dengan bahasa jawa yaitu: “Lung” mengambil dari kalimat “Dalung”, dan “Apit” mengambil dari kalimat Capit. Yang selanjutnya disatukan menjadi Lungapit/Leuweunghapit, dan sampai sekarang daerah tersebut dinamakan “Desa Leuweunghapit” yang merupakan ibu kota desa, di Wilayah Kecamatan Ligung Kabupaten Majalengka.
Keturunan Dipayuda dan Nyai Mas Sidum yang pertama (Nurkim alias Narimpen) menikah dengan seorang perempuan yang tidak diketahui namanya, dan mempunyai keturunan, yaitu Alam, Muali, dan Resti.
Keturunan Nurkim alias Narimpen yang kedua, yaitu Muali menikah dengan seorang perempuan juga tidak diketahui namanya mempunyai putra bernama Kalipan yang merupakan Kuwu Pertama Desa Leuweunghapit pada tahun 1800 an, yang sebelumnya dipimpin oleh tertua adat Bao Awal.
  1. Bao Awal: Abad ke 18 M
  2. Kalipan: 1800an
  3. Kartam: 1800an
  4. Kaliem: 1800an
  5. Kesih: 1800an
  6. Sapingi: 1800an
  7. Ismail (Kesem): 1900-1935
  8. Mulyani: 1935-1946
  9. Wanda: 1946-1947
  10. Mulyani: 1947-1961
  11. Soleman: 1961-1962
  12. Kamin: 1962-1965
  13. Duryah: 1965-1981
  14. Rasyadi: 1981-1982
  15. Waslim K: 1982-1990
  16. Masduki: 1990-1992
  17. Nurjanah: 1992
  18. Edi Casmadi: 1992-1993
  19. Tasnya: 1993-1994
  20. Uja: 1994
  21. Darta Anwar: 1994-1997
  22. Sanawi: 1997-2000
  23. Hikmat Kuswandi: 2000-2010
  24. Arifin: 2010-sekarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar